Senin, 23 Juni 2025. 12:33 WIT.
HALTENG, PERS TIPIKOR.ID –Proyek pembangunan jembatan di Desa Yondeliu, Kecamatan Patani, Halmahera Tengah, tengah disorot publik. Nilainya tak main-main: Rp1,44 miliar dari APBD 2024. Namun sorotan bukan hanya pada mutu fisik jembatan yang mulai retak, tapi juga pada dugaan keterlibatan oknum ASN aktif sebagai aktor di balik proyek.
CV. Filanga Perkasa, perusahaan yang beralamat di Desa Wailegi, ditetapkan sebagai pelaksana proyek tersebut. Berdasarkan data LPSE, perusahaan ini memenangkan tender dengan nilai penawaran Rp1.424.223.835,37, selisih kurang dari Rp16 juta dari pagu dan HPS sebesar Rp1.440.000.000,00. Tender terbuka ini diikuti oleh 11 peserta, namun hanya satu penyedia yang dinyatakan lolos hingga akhir—menggunakan skema evaluasi sistem gugur.
Hal ini memunculkan pertanyaan: benarkah hanya satu penyedia yang memenuhi syarat? Atau pemenangnya memang sudah “dikondisikan” sejak awal?
Rumor yang berkembang menyebutkan bahwa proyek ini diduga kuat milik seorang ASN aktif di lingkup Pemkab Halmahera Tengah. Informasi ini tak hanya jadi bisik-bisik di kalangan Wartawan dan masyarakat, tapi mulai ramai diperbincangkan secara terbuka grup-grup lokal.
Redaksi Pers Tipikor.id melakukan penelusuran dan memperoleh sejumlah informasi yang menguatkan dugaan tersebut. Jika benar, maka kasus ini bukan hanya persoalan mutu fisik proyek, melainkan juga mengarah pada konflik kepentingan, penyalahgunaan jabatan, dan potensi pelanggaran etik serta hukum oleh aparatur sipil negara.
Di lapangan, kondisi fisik proyek juga menjadi perhatian. Retakan tampak di beberapa bagian, sambungan tidak presisi, dan struktur yang rawan terputus. Dengan jenis kontrak lump sum, seharusnya jembatan itu bertahan tanpa alasan force majeure.
Publik pun mulai bertanya:Apakah volume pekerjaan dikurangi? Apakah material yang digunakan di bawah standar? Ataukah pengawasan hanya formalitas belaka?
DPRD Halmahera Tengah harus menunjukkan sikap atau langkah pengawasan yang tegas. Sebab fungsi pengawasan adalah mandat utama lembaga legislatif. Jika proyek senilai miliaran rupiah bermasalah.
Dinas PUPR sebagai dinas teknis juga harus dimintai pertanggungjawaban. Siapa pengawas teknis proyek ini? Apa spesifikasi mutu dalam kontrak? Dan apa langkah korektif atas kerusakan dini yang muncul?
Dalam konteks ini, bukan hanya klarifikasi yang dibutuhkan, tetapi langkah konkret dan transparan. DPRD harus segera memanggil Dinas PUPR, membuka dokumen tender ke publik, menugaskan audit teknis independen, dan bila terbukti ada penyimpangan, melaporkannya kepada aparat penegak hukum.(Editor: Rosa)





