Ahad, 9 Juli 2023.16:03 WIT.
HAL-TENG TIPIKOR-ID.
Peraturan Bupati (Perbup) nomor 7 tahun 2021 terkait retribusi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Weda Kabupaten Halmahera Tengah harus dibatalkan.
Pasalnya, besaran tarif secara substansi tidak sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Tingkat Lanjut, serta Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, ujar tim investigasi.
Bukti besaran nilai tarif yang tertuang pada Perbup Nomor 7 Tahun 2021 seperti ini yang mencekik masyarakat semenjak Perbup diberlakukan, ini skenario gila yang membuat masyarakat jadi korban, seperti pada tarif pelayanan Laboratorium RSUD Weda.
- Golongan darah Rhesus Rp. 45.000,
- HB Sahli Rp.15.000,
- Tes skrining Rp. 24.0000,
- Cros Match Rp. 40.000,
- Tindakan Plobotomi Rp. 30.000,
- Kantong darah Rp. 200.000. Jumlah total pembayaran pelayanan permintaan darah yang dibebankan dan wajib dibayarkan oleh pasien tersebut adalah
Rp. 570.000,.
Lanjutnya, tarif ini juga sudah menyalahi serta menyimpang dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada RSUD yang telah ditetapkan sebelumnya, ungkap tim investigas Perskpktipikor. Com.
Bahkan, penetapan tarif tersebut melebihi dari ketetapan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan dimana pada pasal 45 menyebutkan bahwa :” Pengantian biaya kantong darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sebesar Rp.360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) per kantong darah, jelasnya.
Padahal dalam UU nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa setiap norma hukum itu berjenjang sehingga tidak bisa terjadi tumpang tindih. Jika mengacu pada asas peraturan perundang-undangan asas lex superior derogat legi inferior maka sebuah aturan dibawah harus merujuk pada aturan yang lebih tinggi. Begitu pula pada UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada pasal 49 dan pasal 50 telah mengamanatkan bahwa penetapan tarif harus mengacu pada pola tarif nasional, dan komponen biaya satuan pembiayaan harus memperhatikan kondisi regional
suatu daerah, tapi sebaliknya yang terjadi pada RSUD Weda telah terjadi perubahan dengan pola dugaan pungli berdasrkan Peraturan Bupati, ulasnya.
Jika Pj Bupati dan Penegak Hukum ragu, bukti perbandingan dengan PMI Maluku Utara yang terdapat selisih sangat jauh seperti Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) di PMI Malut hanya Rp.360.000,- sejak tahun 2014 dengan mengacu pada SK BPPD PMI Pusat dan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Tingkat Lanjut.
Dari uraian diatas jelas, bahwa tarif yang ditetapkan dalam bentuk Perbup seharusnya batal demi hukum atau tidak berlaku. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini.
Olehnya itu, Penjabat Bupati Ir. Ikram M Sangadji harus juga membatalkan Perbup yang disinyalir Perbub gila, karena program kesehatan menjadi fokus Penjabat Bupati Ir. Ikram M Sangadji.
Bahkan direktur dengan spesialisasi Patologi Klinik serta bertindak sebagai Dokter Penanggung Jawab Laboratorium RSUD Weda harus bertanggungjawab. Sebab
pemberlakuan tarif didalam Perbup yang telah berjalan selama ini dapat dikategorikan sebagai kedok dalam upaya menguntungkan kepentingan pribadi, dan tentu berpotensi dijadikan delik pidana, karena merugikan masyarakat.
Hal ini juga disinyalir Direktur RSUD Weda dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam mengusulkan besaran tarif pelayanan, maka Direktur RSUD segera dicopot. Direktur RSUD Weda juga harus diperiksa sebagai tersangka dalam menjalankan operandi dari Perbup, tegasnya.
Sampai berita ini terpublikasi Direktur RSUD Weda Selvia D Denggo tidak bisa dikonfirmasi. (Rosa).