Sagea, 13 September 2023. 21:02 WIT.
HAL-TENG PERS TIPIKOR-ID. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara Fachrudin Tukuboya melakukan konferensi pers melalu platform zoom menyampaikan hasil pengujian parameter kualitas air di Sungai Sagea pada 12/9/2023. Hal ini merupakan respon dan rangkaian peristiwa tercemarnya Sungai Sagea yang menjadi perhatian publik karena terindikasi diakibatkan dan aktivitas perusahaan tambang di wilayah hulu Sungai Sagea.


Setelah sempat ramai diperbincangkan dan juga desakan mahasiswa di Ternate pada tanggal 4/9, DLH Maluku Utara melalui surat Nomor: 600 4.5.6/1120W/LH. VIX/2023 menerbitkan surat rekomendasi penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nickel, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Mineral, dan PT First Pacific Mining.
Dua hari berselang, atau tepatnya 6/9/2023 Fachrudin Tukuboya membeberkan bahwa hasil temuan sementara Tim Terpadu yang terdiri dari Pemda Halmahera Tengah, DLH Provinsi Malut dan DLH Kabupaten Halmahera Tengah, serta Dinas Kehutanan bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), bahwa perubahan warna pada air Sungai Sagea dan Goa Bokimaruru bukan disebabkan karena aktivitas pertambangan melainkan adanya runtuhan di dalam goa. Pada 12/9/2023 kemarin, DLH yang diwakili oleh Fachrudin kembali menyelenggarakan konferensi pers mengumumkan bahwa parameter kualitas air masih berada sesuai baku mutu dan kategori aman untuk digunakan.
Mengenai apa yang disampaikan Kepala DLH Maluku Utara. Gerakan Selamatkan Kampung Sagea (#SaveSagea) dan jaringan koalisi memiliki beberapa pandangan.
Pertama, sesuai dengan cermatan kami ada beberapa kejanggalan dan presentasi hasi uji lab kualitas air yang dipaparkan oleh Fachruddin, sebagai berikut.
- Fachruddin mengklaim bahwa pengujian kualitas air merupakan langkah cepat dan terukur, padahal DLH Provinsi secara resmi baru bersikap pada 30/8/ 2023.
- Tanggal pengambilan sampel yang tertera adalah tanggal 14/8 2023, dimana pada saat itu isu Sungai Sagea belum mendapat tanggapan apa-apa dari pemerintah.
- Lampiran dokumentasi sampling yang ditunjukan dalam presentasi Fachruddn merupakan dokumentasi yang sama yang dipaparkan oleh PT. Weda Bay Nickel (WBN) saat rapat pembentukan Tim Terpadu pada 30/8/2023 Sementara PT. WBN adalah pihak yang diduga sebaga pelaku pencemaran Sungai Sagea.
- Fachruddin menjelaskan bahwa kualitas air Sungai Sagea dalam kondisi layak sesuai baku mutu pada kriteria Sungai Kelas Dua untuk peruntukan prasarana/sarana, rekreasi air, budidaya ikan, pengairan tanaman, sehingga seluruh parameter di bawah standar nilai baku mutu. Padahal Sungai Sagea selama ini digunakan sebagai air baku air minum oleh masyarakat yang harusnya diklasifikasi sebagai Sungai Kelas Satu.
- Jika menggunakan klasifikasi Sungai Kelas Satu maka hasil analisis yang ditunjukkan ada beberapa parameter yang melebihi ambang batas baku mutu:
Nilai TSS 34 mg/L. melebihi baku mutu Sungai Kelas Satu (25 mg/L):
Total Fostat 0.04 mg/L. melebihi baku mutu Sungai Kelas Satu (0.01 mg/L):
Besi atau Fe terlarut 0,4 mg/, melebihi baku mutu Sungai Kelas Satu (0,3 M9/L), dan
Kromium Heksavalen CR64+ adalah 0.01 mg/L. sama dengan nilai ambang batas baku mutu yaitu 0,01 mg/L sesuai dengan Permenkes No 2/23 tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan.
Kedua, tidak ada data pembanding hasil uji parameter kualitas air sebelum dan sesudah kejadian dugaan pencemaran. Kami menilai hasil uji kualitas air yang sudah dipaparkan oleh Fachruddin tidak bisa mewakili kondisi sungai secara utuh dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa Sungai Sagea saat ini dalam kondisi baik secara kualitas air, yang justru sebaliknya. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya uji kualitas air yang dilakukan secara temporal (dalam rentang waktu yang panjang) dan spasial (mewakili kondisi hulu, tengah, dan hilir).
Ketiga, menurut kami pengambilan sampel yang dilakukan DLH tidak memenuhi kaidah metodologi yang benar yang merepresentasikan wilayah hulu, tengah dan hilir karena dilakukan di satu lokasi. Adapun yang dilakukan dalam pengujian kualitas air tidak bisa dimasukan kedalam kategori pengujian secara temporal karena hanya dilakukan satu kali. Dan tidak pula bisa dimasukan kedalam kategori pengujan secara spasial karena hanya dilakukan pada satu titik.
Keempat, DLH Maluku Utara sebagai bagian dari Tim Terpadu dinilai berjalan sendiri tanpa berkoordinasi dengan tim yang sudah dibentuk. Selain itu, kami menilai tidak adanya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses sampling sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya bahwa masyarakat harus dilibatkan. Pengambilan sampel yang dilakukan tidak mewakili apa yang menjadi persoalan yang harusnya menjadi bagian dari tugas Tim Terpadu,
Kelima, perubahan pada karakteristik fisik Sungai Sagea yang menjadi keruh berwarna coklat pekat pernah diakui oleh DLH sendiri sebagai dampak adanya pembukaan lahan yang mengakibatkan sedimentasi dari aktivitas pembukaan jalan akses menuju lokasi pertambangan pada wilayah IUP PT. WBN di hulu Sungai, namun belakangan DLH dalam hal ini sebagai bagian dari Tim Terpadu lebih cenderung menjadi corong bagi perusahaan sebagai juru bicara yang selalu menyampaikan bahwa pencemaran yang terjadi bukan karena aktivitas tambang.
Keenam, perubahan lahan akibat pembukaan jalan sudah dapat menyebabkan sedimentasi dan pencemaran sungai, apabila wilayah IUP sudah beroperasi sepenuhnya maka akan terjadi pembukaan lahan yang lebih besar dan akan berdampak dan berisiko tinggi lebih luas dan pencemaran yang terjadi di Sungai Sagea tidak akan bisa dikembalikan fungsinya. Sehingga DLH jangan main-main karena keselamatan warga dipertaruhkan.
Ketujuh, pada konfrensi pers tersebut, DLH memiliki pandangan bahwa Kawasan DAS Sagea, Kawasan Karst Sagea dan Goa Bokimaruru adalah kawasan yang harus dilindungi, seharusnya DLH sesuai dengan kewenangannya fokus juga pada upaya perlindungan wilayah karst dan daerah aliran sungai Sagea. Areal perlindungan bisa berupa kawasan ekosistem esensial dengan pengajuan ke KLHK. Ataupun Dinas ESDM yang memiliki kewenangan terhadap perlindungan kawasan karst seharusnya mengusulkan melalui pemerintah daerah untuk mengusulkan penetapan kawasan Karst Sagea sebagai Kawasan Bentang Alam Karst, sesuai dengan kewenangannya.
Sementara itu Dr. Eko Teguh Paripurno Akademisi dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta, sebagai Pengurus Bidang Konservasi Lingkungan PP Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) memberikan pendapat terhadap fenomena yang terjadi pada Sungai Sagea. Menurutnya Pemerintah daerah seharusnya menjalankan mandat-mandat Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan, bukan sebaliknya. Tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan
tidak adanya itikad baik pemerintah daerah dalam melindungi tubuh air untuk menjamin kualitas hidup warga secara lebih baik. Investigasi yang dilakukan harus dapat melibatkan masyarakat bukan hanya sekedar melaporkan opini-opini yang ada, setidaknya ada 3 hal yang harus dilakukan oleh tim investigasi antara lain:
Melakukan investigasi lapangan terutama pada wilayah jalur yang dibuka untuk akses jalan untuk menyusuri trase jalan dan memetakan titik-titik sedimen berupa tanah dan lumpur sebagai material kupasan yang terhubung dengan alur-alur Sungai Sagea di bagian hulu maupun tengah.
Melakukan uji kualitas air secara berkala dengan menggunakan metode sampling yang proper dan sesuai dengan kaidah akademis yang dapat mewakili sampling pada wilayah hulu, tengah dan hilir.
Melakukan kajian suspended load dan bed load pada Sungai Sagea untuk mengetahui muatan sedimen yang berada di permukaan dan di dasar sungai dan hasil sedmentasi yang dihasilkan.
Atas Nama Koalisi Peduli Sagea Gerakan Save Sagea | FWI | JATAM | AEER | Trend Asia | Masyarakat Speleologi Indonesia.
Narahubung: Adlun Fikri 081314012618
Prayoga 02518333308.
(Rosa